Title : Experience Of Jewel
(Season II) Part 9
Genre : Friendship, Inspiratif, Melodrama
Tengah malam, sekitar pukul dua belas lewat. Saat itu Ayu sulit sekali tertidur, perut nya memanggil manggil minta diberi makan. Ayu melihat sekeliling, semuanya sudah tertidur lelap, begitupun dengan Sendy. Niatnya ia ingin membangunkan Sendy yang tengah tertidur disebelahnya, namun Ayu tidak tega.
Wajahnya menunjukkan kebinggungannya. Sesekali ia memegang perutnya sanking tidak bisa menahan rasa laparnya. Akhirnya Ayu pun berjalan mengambil sweater nya yang berada didalam tas untuk menyelimuti tubuhnya dari udara malam yang dingin. Ayu men Scan jari kelingkingnya untuk membuka pintu asrama, ia berjalan menuju Cafe gedung.
Rasa kecewa muncul dari wajah Ayu, bahwa Cafe yang ia tuju telah tutup, begitupun dengan restaurant. Ayu baru sadar bahwa ia sedang tidak berada di Hotel maupun Apartemen yang selalu buka 24jam. Ayu berjalan menundukkan kepalanya. Kemudian terbayang bayang ucapan kakak nya (Dhike) yang melintas dipikirannya saat Ayu kecil.
"Kakak, aku boleh gak makan Mie instan? Aku lapar, kak."
Dhike membentaknya. "Gak boleh! Kamu kan tahu sendiri kalo kamu makan Mie Instan kamu akan merasa pusing. Kalo kamu lapar kakak bisa buatkan telur dadar."
"Aku gak mau mengganggu kakak yang lagi belajar." Sahutnya.
"Lebih gak mau lagi jika aku harus merawatmu kalo kamu pusing. Kakak bisa tunda belajar, kamu tunggu ya, kakak buat makanan dulu."
Ayu tersenyum kegirangan. "Kak, lain kali ajarin aku masak. Nanti aku buatin makanan yang banyak buat kakak." Gurau nya. Dhike hanya tersenyum membalas janji Ayu.
Ayu memang mempunyai reaksi alergi terhadap komponen bumbu pada Mie Instan. Maka dari itu Ayu tidak berani lagi memakannya. Ayu berjalan mengelilingi gedung, langkahnya terhenti disebuah taman, ia bertumpu dibawah rumput tebal dengan kedua kaki dilipatkannya. Ia menunduk lesu beberapa menit.
Kakak, aku rindu kakak. Setiap hari kita selalu menghabiskan waktu bersama. Beberapa hari ini kita jarang sekali bertemu. Kenapa yang selalu ada dipikiranku hanyalah Kakak, apa kakak juga merasakan hal yang sama? Gimana kabar kakak? Apa kakak melewati Audisi itu dengan baik? Besok adalah giliran ku untuk tampil. Tolonglah berikan aku dukungan, kak.
Tidak lama Ayu bergumam, terdengar suara hentakan kaki yang mengarah ke arah dirinya. Perlahan Ayu menegakkan kepalanya, ia menaikkan alisnya terkejut melihat Dhike yang tiba tiba ada dihadapannya. Dhike bertumpu disebelah Ayu sambil menatapnya heran. Sebelumnya Dhike memang sempat melihat Ayu melewati kamar asramanya dari balik kaca, Dhike penasaran dan langsung mengikutinya.
"Apa yang kamu lakukan malam malam begini disini?"
"Aku hanya gak bisa tidur, kak. Jadi aku jalan jalan sebentar melihat lihat suasana malam disini." Sahutnya dusta. Ayu tahu, jika ia mengatakan yang sebenarnya, mungkin ia hanya akan merepotkan Dhike.
"Ayo kita makan sama sama." Ajaknya tiba tiba. Dhike sebenarnya sudah bisa menebak bahwa Ayu bukan ingin jalan jalan, melainkan ia kelaparan. Kejadian ini sama percis dengan apa yang terjadi saat mereka berdua masih kecil. Dhike masih mengingatnya.
Ayu terperangah heran. "Ta..Tapi ..."
"Aku juga lapar, jadi gak usah sungkan mengajakku untuk makan bersama." Sahutnya dengan senyum tipis. Dhike mengetahui bahwa Ayu akan merasa tidak enak hati, maka dari itu Dhike berusaha mengatasinya dengan kalimat yang mengajak.
Saat itu juga Dhike menarik lengan Ayu dan membuat Ayu bangkit dari tumpuannya. Mereka berdua berjalan dengan tangan yang saling bergandengan menuju pintu gerbang gedung. Wajah Ayu seketika itu memerah, ia tersenyum senang bahwa orang yang mengajaknya makan bersama adalah kakaknya sendiri.
Setelah sampai didepan pintu gerbang, dua orang Security menghalangi jalan mereka berdua.
"Kalian mau kemana malam malam begini?" Tanyanya tegas.
"Kami ingin mencari makan malam. Didalam sana sudah tidak ada Restoran yang buka." Sahut Dhike.
"Kalo begitu ikutlah denganku, gak baik wanita keluyuran tengah malam begini."
Security tersebut memandu Dhike dan juga Ayu menemukan rumah makan terdekat diluar kawasan Gedung. Ditengah perjalanan, Security tersebut mendapat panggilan telepon dari rekannya yang membuat langkah mereka terhenti sejenak. Sambil menunggu Security itu menyelesaikan percakapannya ditelepon, Ayu bermain main dengan Kucing yang melintas dipinggir jalan raya. Ayu memang girang sekali jika melihat Kucing lucu yang ada dihadapannya, ia langsung mendekati kucing tersebut dan mengelusnya.
"Kucing Lucu, Siapa nama kamu? Kenapa malam malam begini kamu sendirian?"
Dhike sedikit tertawa memandang tingkah Ayu yang memainkan Kucing itu, sudah tidak asing lagi. Itu memang sudah menjadi kebiasaan Ayu sejak kecil.
Flashback
Ketika beberapa tahun sebelumnya Ayu pernah menceritakan kesukaannya dengan Kucing. Saat dirinya kesepian, ia selalu berjalan menuju loteng paling atas sebuah apartemen. Diam diam Ayu membawa seekor kucing kecil jenis anggora yang ia beli sendiri dari hasil uang jajan yang ia kumpulkan selama setahun.
"Kak, apa kakak tahu? Disaat kakak masih berada disekolah dan membuat diriku sendirian, kucing inilah yang selalu menemaniku dan bisa membuat ku tertawa. Aku tidak punya siapa siapa kecuali kakak dan juga kucing itu yang bisa menghiburku. Walaupun aku tinggal dengan Ibuku, tapi Ibu tidak pernah meluangkan waktunya untuk menemaniku. Aku bahkan jarang sekali berkomunikasi dengannya. Maka dari itu aku membeli kucing ini untuk ku pelihara secara diam diam. Ya walaupun aku tahu jika sampai aku ketahuan memelihara kucing oleh Ibuku, pasti ia tidak akan mengijinkanku. Jadi, kakak jangan coba coba untuk melarangku, ya? Kalo kakak sampai melarangnya, kakak harus tanggung jawab untuk selalu hadir menemaniku saat aku merasa kesepian."
Kemudian Dhike menjawabnya dengan sedikit Gurauan. "Oh, Jadi kamu mengamcamku, ya? Awas ya! Sini kucingnya. Jadi kamu lebih memilih kucing daripada kakak, ya? hahaha."
"Kucing ini lebih Imut, tau!. hahaha." Balas Ayu bergurau.
Lantas Dhike berpura pura kesal dengan mengejar Ayu yang tengah menggendong kucing tersebut dibadannya.
"Apa katamu? Awas ya kalo sampai aku mendapatkan kucing itu, Aku akan mengurungnya didalam lemari es. hahaha."
Sejenak Dhike melamun mengingat itu semua, ia memandang Ayu dengan senyum saat Ayu sedang asik memainkan Kucing dihadapannya. Memandangnya hati ini sungguh lega solah olah diriku sudah menjalankan kewajibanku untuk membuatnya selalu tersenyum.
Sejak dirimu hadir dalam hidupku, mengapa aku selalu dibebankan oleh mu.
Aku merasa bahwa aku harus bertanggung jawab akan hidupmu.
Ayahmu! Mengapa ia tega menghalangi kegembiraan mu.
Mungkin Jika Ayahmu berada disini, kamu tidak akan pernah menuduh bahwa dunia ini Kejam.
Tiba tiba saja dari arah kanan, sebuah kendaraan besar beroda enam muncul dari tikungan yang tajam melaju dengan cepatnya. Saat itu Dhike masih bersikap biasa saja, toh paling pengemudi itu membelokkan ban nya sedikit kekanan untuk menghindari Ayu yang sedang asik bermain dengan Kucing dipinggir jalan.
Namun truk tersebut tetap berjalan tanpa membelokkan ban nya, kedua mata Dhike terbuka lebar cemas. Truk itu masih berjalan seolah olah tidak mengetahui keberadaan Ayu. Dhike baru sadar kalau posisi Ayu sedang dalam tidak baik, ia Jongkok dan menunduk kebawah, Apa mungkin pengemudi itu tidak melihatnya? terkanya.
Sudah terlambat! Kucing yang dipegang Ayu sudah lari duluan dengan cepatnya. Sinar lampu truk tersebut mulai memancar dan menerangi tubuh Ayu.
"Berhenti! Ayu!" Pekiknya dengan rasa cemas yang luar biasa.
Apakah kehidupanku akan berakhir disini? Ibu dan juga Ayah, apakah kalian merasakan kesedihan yang aku alami ini? Semoga kalian tidak mengetahuinya.
Dhike berlari untuk menyelamatkan Ayu, Namun sudah terlambat.
Tubuh ku terpental, tetapi aku masih bisa merasakan detak jantungku. Aku lemah tak berdaya, pandanganku sudah mulai kabur. Kendaraan besar yang melaju cepat tidak mungkin menyebabkan kerusakan yang kecil pada tubuhku. Sebisa mungkin aku membuka mataku, yang ku lihat hanyalah wajah kakak yang penuh dengan air mata yang menetes diwajahku. Dikeadaan ku yang terbilang sekarat ini, aku mencoba tersenyum pada kakak. Aku tidak mau jika terus membuat kakak khawatir. Kalaupun kehidupanku akan berakhir disini, lebih baik aku meninggalkan senyum padanya.
Melihat kejadian itu, Security dengan cepat membawa Ayu yang sudah tak berdaya menuju rumah sakit terdekat. Sedangkan Dhike, ia masih terdiam tidak percaya dengan apa yang ia lihat barusan. Wajah Dhike pucat, ia duduk bertumpu ditempat kejadian maut tersebut. Ia melihat begitu banyak darah yang berceceran dijalan raya, kemudian ia menyentuh darah dengan tangis nya seraya berkata. "Enggak Mungkin!" Protesnya.
"Enggak Mungkin!"
"Enggak Mungkin!" Ucapnya lagi dan lagi.
"Enggak Mungkin!" Pekiknya.
Dhike memekik dengan tangis yang keras. Setelah tiga menit ia mencerna kejadian barusan, Dhike berlari menyusul Ayu yang tengah dibawa ke rumah sakit.
Tepat didepan kamar UGD tempat Ayu diperiksa, Dhike duduk bersimpuh dengan kelopak mata yang bengkak. Pandangannya terus kedepan, pikirannya sungguh kosong, wajahnya penuh dengan bercak air mata. Keadaan Jiwa Dhike sungguh tidak baik, ia terlihat begitu kaku, kejiwaannya sudah terganggu dengan kejadian maut yang dialami Ayu.
Tidak lama kemudian, Melody, Ve serta Stella muncul dan segera menghampiri Dhike. Suasana diasrama sedang tidak baik, kacau karena sebagian peserta sudah mendengar kabar berita tentang kecelakaan maut yang dialami peserta bernama Ayu.
Melody mendekati Dhike yang kaku diam tak berdaya, lekas lekas disangganya punggungnya.
"Sebenarnya apa yang sudah terjadi pada kalian?" Tanya Ve begitu penasaran.
Mendengar pertanyaan Ve membuat Melody dengan sigap memberi isyarat bahwa pertanyaan tersebut tidak cocok untuk diperbincangkan saat ini. Melody mengetahui betul bahwa Dhike sedang ambruk ambruk nya memikirnya Ayu, apalagi itu menyangkut nyawa seseorang. Pertanyaan Ve akan membuat perasaan Dhike semakin memburuk saja.
Kemudian dari arah kanan Sendy muncul, langkahnya terhenti setelah melihat Dhike serta sekumpulan temannya dihadapannya. Mungkin salah satu dari mereka akan menyalahkannya, siapa yang tahu, pikir Sendy. Dhike melihat keberadaan Sendy, dengan mata memelotot dan hati yang sudah membara karena kesal, Ia berlari mendekati Sendy serta membanting tubuh Sendy ke tembok dengan keras. Sendy masih terdiam atas perlakuan Dhike yang kurang menyenangkan itu, ia melirik kedua tangan Dhike yang penuh bercak darah milik Ayu, matanya berkaca kaca.
"Seperti itukah perlakuan mu padanya? Dia hanya anak kecil yang penuh dengan penderitaan dalam hidupnya, Malam itu dia sangat kelaparan dan berjalan seorang diri, apakah sulit untukmu menemaninya?"
Sendy mencerna perkataan Dhike barusan, Sendy jadi mengingat bahwa sebelumnya memang Sendy sudah merasa ada yang tidak beres dengan tingkah Ayu yang sesekali memegang perutnya, namun saat Sendy menanyakan keadaan Ayu, Ayu hanya menjawab bahwa dirinya tidak apa apa.
"Sebelumnya memang aku sudah menanyakan keadaannya, Namun ia menjawab bahwa dirinya baik baik saja." Belanya.
Sanking kesalnya Dhike menarik kerah baju Sendy dengan kuat, suasana menjadi memanas. Stella berlari berusaha memisahkan keduanya. Sendy masih terdiam dan tidak melawan, ia tahu betul perasaan Dhike memang tidak begitu baik, ia memakluminya.
Stella menuntun Dhike kembali pada tumpuannya, begitupun dengan yang lainnya. Semuanya menunggu kabar dengan cemasnya. Dhike melamun dan kembali mengingat masa lalunya.
Flashback
Kediaman Dhike, tengah malam. Pertengkaran hebat terjadi antara Ayah dan Ibu ku. Dari balik kamar aku tidak bisa tertidur karena pertengkaran tersebut. Saat itu aku masih terlalu kecil dan tidak terlalu bisa mencerna perkataan kedua orang tuaku. Namun ada kalimat yang masih membuatku binggung hingga sekarang. Saat itu Ayahku selalu mempeributkan anak yang tinggal disebelah apartemen ku.
Ayahku selalu membentak Ibuku untuk segera mengakui siapa Ibu dari anak tersebut. Aku tidak tega melihat Ibuku menangis, dan aku tidak tahu apa yang sedang mereka ributkan. Keesokan harinya, aku begitu penasaran dan aku mencoba memberanikan diri untuk mengunjungi anak yang merupakan tetangga ku sendiri.
Saat aku berhadapan dengan anak itu, anak itu terus melemparkan senyum padaku. Dia begitu polos dan tidak segan segan ia manarik ku kedalam apartemennya. Ia menyuguhkanku sebotol susu dan beberapa snack seraya berkata. "Kamu mau menjadi teman ku?" Ucapnya polos.
Lantas aku membalasnya. "Mengapa?"
Ia menjawab bahwa ia tidak pernah diperbolehkan main keluar kamar apartemenya, ia merasa bosan dan kesepian. Ia sama sekali tidak mempunyai teman yang bisa diajak berbicara ataupun bermain boneka dengannya. Aku begitu tersentuh dan tidak tega melihat keadaannya, bagaimana mungkin anak seumuran dia tidak diperbolehkan bermain oleh orang tuanya, padahal masa kecil adalah masa dimana Anak anak menghabiskan kesenangannya dengan bermain.
Setelah aku puas bermain dengannya, aku berpamitan dengannya. Aku diberi sebuah boneka kecil seukuran telapak tangan, dan ia berkata semoga aku bisa datang mengunjunginya lagi. Setelah aku bermain dengannya, aku baru sadar bahwa ia mempunyai hati yang lembut dan begitu polosnya.
Saat aku kembali ke apartemen ku, aku kembali mengingat perkataan Ayah ku saat bertengkar dengan Ibuku, dan aku bertanya tanya Apakah yang dimaksud Ayahku adalah anak itu?
BERSAMBUNG
Sumber : http://jkt48novel.wix.com/jkt48fanfiction
0 komentar:
Posting Komentar