Title : Experience Of Jewel
(Season III) Part 9
Genre : Friendship, Inspiratif, Melodrama
Story by : Chikafusa Chikanatsu
Begitu melihat orang yang dicarinya, Ronald berjalan mendekatinya. Namun perasaannya sedikit kecewa setelah orang yang diincarnya sedang bersama seseorang. Untungnya Ronald bisa memahami situasi, Ia berniat kembali dan mungkin lain kali akan menemuinya lagi.
"Ronald!" Panggil Melody yang tidak sengaja melihat keberadaan Ronald, saat itu Melody masih bersama dengan Rena.
Ronald menengok kebelakang. Ia memandangi Melody dan menyapanya dengan senyum, Melody senang melihat dirinya. Dengan berat Ronald menghampiri Melody, sebab, Ronald hanya ingin berbicara empat mata dengannya.
"Apa kamu sibuk?" Tanya Ronald.
Melody menggeleng. Lantas Rena menyerobot dengan nada yang agak judes. "Dia sedang memanduku. Jadi, pacarannya lain kali saja."
Melody dikejutkan oleh kata 'pacaran' yang Rena ucapkan barusan, Lantas Ia berusaha meluruskan tuduhan tersebut. "Dia bukan pacarku. Hanya teman." Katanya memperjelas.
Rena mengoceh. "Teman pria dan pacar apa bedanya."
Ronald masih saja mengunci mulutnya, bagaimanapun ia tidak akan membuka mulutnya saat Melody sedang bersama seseorang. Suasana kaku tersebut membuat Melody sedikit heran, Melody menduga bahwa akan ada yang mau di omongin oleh Ronald.
"Ada apa?" Tanya Melody berusaha membuat Ronald berbicara. Lantas Ronald menoleh Rena dengan wajah enggan, untungnya Melody menyadari bahwa Ronald saat itu memang ingin berbicara empat mata dengannya.
"Apa kamu bisa tinggalkan kami sebentar?" Pinta Melody pada Rena.
memang sedikit kesal bagi Rena, memang apa sih yang bisa dibicarakan 2 orang remaja dengan jenis yang berbeda, pasti gak jauh dari percintaan atau persahabatan, pikir Rena.
"Aku tidak punya tempat untuk pergi, jadi aku akan tetap disini." Kata Rena sambil mengeluarkan Earphone untuk mendengarkan lagu. "Tenang saja, aku tidak akan mendengar percakapan kalian." Tambahnya, sebab dikuping Rena sudah ia pasangkan earphone tersebut.
Walau sedikit ragu dengan tindakan Rena, namun Ronald tidak punya cara lain selain mengeluarkan permintaannya. Namun sebelumnya, Ronald menarik lengan Melody menuju pojokan pagar jembatan. Saat itu mereka memang sedang berada disekitar taman dengan daratan yang tinggi, sehingga Ronald terpesona akan keindahan ribuan bahkan lebih rumah yang tertata dibawah sana.
"kali ini aku mulai percaya bahwa uang bisa mengubah hati seseorang menjadi serakah. Seperti yang dilakukan teman dekatku saat ini. Apa yang dijanjikan padaku waktu itu semuanya sirna dengan profesi yang ia miliki saat ini." Kata Ronald tanpa menatap Melody.
Melody berlagak tidak tahu, namun sebetulnya Melody tau percis siapa teman yang sedang Ronald bicarakan.
"Siapa dia?"
"Rica ..." Sahutnya agak lemas.Lantas Melody berusaha mengeluarkan pendapatnya. "Terkadang aku merasa kasihan melihat dirinya. Sosoknya yang sekarang membuat orang minder untuk mendekatinya. Kemampuannya dalam akting membuatnya sungguh percaya diri untuk bisa menindas yang lemah. Itulah yang aku lihat dalam dirinya." Kata Melody.Ronald menoleh pada Melody, Ia merasa bahwa pendapatnya sama dengan dirinya. Itulah kelebihan Melody di mata Ronald, Dewasa dan dapat memaklumi seseorang berdasarkan masalah dan kelemahannya, maka dari itu Ronald selalu nyaman jika mengobrol dengannya.
"Sudah sangat lama aku dan Rica berteman baik. Aku dan dia sama sama hidup dimasa yang sulit. Kini, dalam sekejap ia mampu mengubah kehidupan pahitnya. Aku sebagai teman hanya bisa mengucapkan 'selamat' padanya. Sedangkan aku hanya bisa menjadi pria yang pecundang." Kata Ronald mengutarakan sedikit isi hatinya.
Melody menarik nafas panjang - pendek, sedikit kesal bagi Melody mendengar kalimat Ronald barusan. Ronald hanya bisa mengeluh tanpa ada sebuah tindakan. "Benar. Lalu, apa kamu akan selamanya hidup seperti itu? Dunia ini kejam, yang tidak kerja tidak akan mendapat makan. Rubahlan hidupmu." Jawab Melody begitu emosional.
Ronald menjadi enggan meminta permohonannya pada Melody, namun kalimat Melody membuatnya menjadi kukuh untuk bisa mengubah hidupnya ke jalan yang lebih baik. Lantas dengan terpaksa dan malu, ia membuka mulutnya. "Soal penawaranmu waktu itu ... Aku akan menerimanya."
Melody mendelik sejenak menatap Ronald, kemudian ia tersenyum lebar. "Sebagai teman, aku pasti akan membantumu. Gengamlah dunia ini ditanganmu, mulailah hidup baru yang penuh dengan kerja keras ... Dan nikmati hasilnya."
Keduanya tersenyum saling memandang. Rena yang dirinya dibuat menunggu hanya bisa cemberut jengkel memandang keduanya, Ia menghampiri Melody. "Kalian sudah selesai?" Tanyannya dengan memasangkan wajah yang dongkol.
Melody menggangguk. "Kami sudah selesai."
"Tidak ada adegan menangis. Tidak ada adegan mendekap. Jarang sekali aku melihat pasangan seperti kalian." Kata Rena menyindir keberadaan Melody dan Ronald.
Melody gemas. "Sudah aku katakan bahwa kami hanya berteman." Katanya memperjelas kedua kalinya.
"Ayo ke toko icecream. Aku ingin menenangkan diriku dengan memakan yang manis." Pinta Rena dengan membalikkan tubuhnya.
"Siapa dia?" Bisik Ronald pada Melody.
"Putri Direktur." Jawabnya.
"Wah, Putri Direktur, ya? Kamu pasti berhubungan baik dengan Direktur. Kalau aku culik putrinya, kira kira apa aku akan mendapat sebuah apartemen mewah sebagai tebusannya?" Guraunya.
Melody mendengus dengan tawa kecilnya. "Jangan bercanda!"
Casting berlangsung dilantai dua belas. Perasaan gugup menyelimuti semua para peserta yang menunggu di ruang Lobby. Dihadiri oleh direktur Pelangi Entertainment yang juga menilai akting dari para peserta ketika itu. Sonya begitu gelisah, ia duduk diruang tunggu sambil melipat kedua kakinya. Ini merupakan hari penentuan bagi Sonya agar dirinya mendapat kesempatan menjadi aktris setelah sebelumnya gagal.
"Jika kamu terus gelisah seperti itu, maka kamu tidak akan pernah berhasil dalam casting itu." Kata Stella yang baru saja datang, Ia duduk disebelah Sonya. Sonya menoleh pada Stella, ia menatap kagum sosok Stella. Sebab, Stella pernah memainkan banyak peran didunia film.
"kalau begitu, apa kamu bisa membantuku?" Balas Sonya.
"Apa yang kamu keluhkan?" Balik Stella bertanya.
"Mengapa aku selalu tidak pernah bisa berekspresi ketika akting?"
"Jawabannya cukup mudah, kamu belum bisa menguasai perasaan indra dan naluri. Perasaan emosional, sedih, atau mungkin tertawa. Semua itu diciptakan melalui ingatan masa lalu, dan kemudian disusun kembali dalam akting." Jawab Stella.
Sonya masih binggung. "Aku tidak terlalu mengerti dengan ucapanmu."
"Begini saja, sebelumnya aku ingin bertanya padamu. Pada saat kamu menangis, biasanya masalah seperti apa yang menimpamu?"
"Pada saat aku terjatuh hingga terluka, dimarahi, dan ... kekecewaan yang membuat hatiku terluka. Mungkin itu masalah yang sering aku jumpai hingga diriku menangis." kembali Sonya menjawab.
"Seorang aktor/aktris diwajibkan untuk bisa memahami inten naskah yang dibuat oleh si pengarang, entah itu suasana sedih atau mungkin gembira. Aku akan menjelaskan suasana sedih saja, dimana para pemeran kebanyakan kesulitan melakukannya. Jika kamu menerima naskah berisi tentang kesedihan, maka kamu harus masuk kedunia ingatan dimana kamu pernah menangis dikehidupan sebelumnya. Disini, kamu harus bisa memadukan antara dialog dan juga ingatan masa lalu yang menyedihkan. Dan selanjutnya adalah ekspresi, entah itu senang atau mungkin sedih, misalnya, kamu memerankan seorang wanita yang dikhianati temanmu, maka ekpresi apa yang akan kamu terima? Marah, kesal? benar. Hal yang sangat diperhatikan oleh sutradara adalah, beraksi secara natural, bukan berpura pura." Kata Stella menjelaskan.
Sonya mendengarkan baik baik perkataan Stella barusan, dan akhirnya pun ia bisa memahami ucapannya barusan. "Aku sekarang mulai mengerti. Terima kasih banyak kamu mau menjelaskan ilmu tersebut padaku. Aku binggung harus belajar pada siapa."
Stella tersenyum. "Itu tidak seberapa. Keluarkan seluruh kemampuanmu saat casting berlangsung, sebab, direktur paling tidak ingin melihat peserta yang gugup atau mungkin ekspresi yang dibuat buat."
Sonya menggangguk. "Aku akan berusaha."
Seorang sutradara terkenal, penulis naskah serta Direktur Pelangi menghuni ruang casting. Seorang wanita yang merupakan penulis naskah mulai mengeluh pada arahan yang diucapkan Direktur sebelumnya. "Apa anda yakin kita akan menilai empat orang peserta dalam waktu yang bersamaan?"
Direktur menjawab. "Kita tidak punya waktu. Banyaknya peserta membuat ku mengambil keputusan itu."
Penulis tetap ngotot. "Tapi, peserta mungkin akan sulit menilai karakter, konsentrasi serta observasi dengan naskah yang hanya berisi 3 lembar saja."
"Itulah tugasmu. Anda harus bisa membuat naskah yang mudah dipahami oleh si pembaca. jika anda masih bisa mengeluh, maka aku tidak akan memanggilmu sebagai penulis berkelas." Balas Direktur dengan tajamnya.
Mau tidak mau penulis itu menuruti apa yang diucapkan direktur. Sonya, Shiva, Rica serta Stella, suatu kebetulan mereka berempat berada diruang Casting bersamaan. Mereka berempat diberikan sebuah naskah skenario yang meliputi karakter, plot dan juga Scene. Masing masing dari mereka mulai membaca dengan sungguh sungguh. Tubuh Sonya masih bergetar gugup sambil memegang naskah ditangannya.
Jika kamu terus gelisah seperti itu, maka kamu tidak akan pernah berhasil dalam casting itu.
Untungnya, kalimat Stella masih terbayang bayang dalam pikiran Sonya, dan ia pun berusaha untuk menghilangkan rasa gemetarannya. Sonya melirik angkuh keberadaan Rica yang berada 3 kursi dari miliknya. Ia akan menunjukkan pada Rica bahwa yang tidak berbakat pasti bisa melakukannya dengan berlatih sungguh sungguh. Rica mulai menyadari pandangan Sonya yang berlebihan, Ia balik memandang tajam wajah Sonya dari tempatnya.
Penulis naskah mulai membuka mulutnya untuk menambahkan sedikit penjelasan pada para peserta mengenai skenarionya. "Seorang gadis kaya raya yang mendapat perjodohan dengan Ibunya sendiri, lantas gadis tersebut merasa telah menerima kekecewaan dari orang tuanya mengenai perjodohan tersebut. Aku menempatkan pemeran gadis utama itu pada Sonya. Dan kemudian Ibu dari gadis tersebut aku akan memakai Rica. Sisanya Shiva serta Stella, kalian merupakan saudara kandung dari gadis itu, tugas kalian hanyalah mendukung keberadaan Sonya dengan menolak perjodohan yang sudah Ibunya rancang. Apa kalian mengerti maksud dari naskah yang aku buat?"
Semuanya menggangguk dan kembali membaca.
Setelah memakan waktu selama 10 menit, akhirnya mereka pun sudah siap untuk melakukannya. Sonya membuang nafas panjang.
"Persiapkan diri kalian. Ini bukan saatkan kalian untuk berpura pura, buatlah akting yang natural seolah olah kalian berada didalam suasana dalam skenario tersebut." Kata Sutradara.
Semua siap dalam posisi masing masing. Sonya menggangkat kepalanya memandang tajam Rica, sebaliknya, Rica pun memandang sama tajamnya.
ACTION!
Sonya yang baru saja pulang kerja, sudah harus berhadapan dengan Ibunya, Rica, yang akan memberitahukan perihal perjodohannya dengan seseorang yang berkelas.
"Kamu sudah datang, duduklah." Perintah Ibunya (Rica).
"Ada perlu apa, Bu?" Tanya Sonya.
"Datanglah ke sebuah pesta dalam pembukaan cabang baru dari Perusahaan 'Style Fashion' besok malam. Ibu akan memperkenalkan pria yang cocok untukmu."
Sonya Jengkel, menatap tajam Ibunya. "Apakah tradisi perjodohan juga berlaku pada Ibu waktu itu? Kalau iya, apa Ibu bahagia? Apa Ibu sudah hidup senang?"
"Jangan membantah!" Bentak Rica. "Demi menjaga jalannya suatu bisnis, kita harus saling bekerja sama dengan orang yang sederajat. Apa kamu mengerti?"
Sonya masih melawan. "Lagi lagi Ibu membicarakan tentang bisnis. Apakah bisnis lebih penting dari sebuah kebahagiaan? Apa Ibu senang melihat anak Ibu menderita jika Ia sudah berkeluarga? Apa itu maunya Ibu pada diriku?" Omongan terakhir Sonya membuat wajah Ibunya (Rica) membara.
Lantas kedua Adik Sonya datang menyampur perdebatan tersebut, mereka adalah Shiva dan juga Stella.
"Aku juga tidak setuju jika nanti aku akan berakhir seperti kak Sonya juga. Sebuah cinta bukan dinilai dari uang, melainkan hati." Campur Shiva.
Rica mendengus. "Cinta? Apa kalian masih percaya dengan itu? Dunia yang sekarang sungguh berbeda, mereka yang memilih cinta akan berakhir sengsara, kumuh dan juga menyedihkan. Lihatlah hidup kalian sebelum dan sesudah aku menikahi pria kaya. Kalian bahkan bisa memilih sepatu atau tas yang kalian suka dengan harga jutaan di toko sana. Apa lagi yang kalian keluhkan?"
Stella mulai membuka mulut. "Tetapi, dari hati yang paling dalam apa ibu bahagia? Ibu hanya melihat dari sisi luarnya saja, bahwa uanglah segala galanya, namun sebuah kasih sayang akan menyempurnakan hidup seseorang."
CUT!
"Sebelum kita melanjutkan adegan tersebut, aku ingin menanyakan sesuatu pada kalian. Yang pro bukan berarti tidak mendengarkan ucapanku ini. Apa itu arti dari sebuah aktor?" Kata Direktur, lantas ia menoleh pada Sonya. "Kamu duluan." Tambahnya.
Sonya mendadak kaget menerima pertanyaan dari Direktur, tubuhnya gemetaran. "Ak.. Aktor adalah seseorang yang memerankan sebuah drama." Jawab Sonya terbata bata.
Direktur menghela nafas. "Semua orang pun akan berkata hal yang sama. Stella, kamu yang tambahkan."
"Seseorang yang berperan dengan kemampuan berekspresi untuk menciptakan perasaan perasaan yang dimilikinya." Jawab singkat Stella.
Direktur membalas. "Masih kurang lengkap."
"Seseorang dengan kemampuan berekspresi dengan teknik teknik penguasaan tubuh seperti relaksasi, konsentrasi, kreatifitas dan juga kepekaan." Serobot Shiva tiba tiba.
"Hampir betul" Kembali Direktur membalas.
Rica mulai membuka mulutnya. "Hal terpenting ada pada sosok seorang aktor adalah, mampu mengasosiasikan kedalam aksi dramatis, sehingga si aktor tidak terlalu banyak berhadapan dengan naskah, ia akan berekspresi dengan dirinya. Melalui Latihan improvisasi yang dapat dilakukannya, menghasilkan kemampuan ekspresi sesuai dengan suasana dan situasi dalam pementasan. Dalam arti pendek dari yang saya jelaskan barusan, bahwa aktor dituntut untuk bisa berekpresi tanpa harus melihat naskah yang tertulis, namun melihat dari suasana dan situasi dalam adegan."
Direktur manggut manggut tersenyum mendengar penjabaran Rica barusan mengenai aktor. "Itulah yang dimaksud dengan aktor." Kata direktur yang betul betul memihak pada jawaban Rica barusan.
Lagi lagi Sonya harus dilangkah oleh Rica, Ia menghela nafas. Walau kejengkelan masih menghantui hati Sonya, namun ia mengakui keahlian Rica.
Diwaktu yang sama, tempat yang sama, Dhike kembali berniat menemui Sendy ketika itu disebuah cafe langganannya. Dhike terlihat mendung wajahnya. Belum ada 3 menit, Sendy sudah datang menghampiri Dhike.
Sendy tersenyum. "Apa kali ini aku kembali terlambat?"
Dhike menggeleng. "Duduklah. Ada banyak hal yang ingin aku sampaikan padamu." Kata Dhike.
"Aku juga." Balas Sendy.
Dhike mengambil sebuah surat kesehatan kepunyaan Ayu dari rumah sakit, surat itu dia sodorkan pada Sendy. "Yang pertama, ini mengenai kesehatan Ayu. Aku tahu bahwa kamu juga mengkhawatirkan dirinya, maka dari itu aku memperlihatkan surat ini padamu."
Sendy mengambil surat tersebut dengan wajah yang binggung, Ia mambacanya dalam sekejap. Sendy mendelik setelah tahu bahwa surat tersebut berisi penyakit yang akan diderita Ayu. "Sampai separah itukah?"
Dhike menaggangguk berat. "Perihal mengenai Ayahnya saja belum beres, ia mesti sudah harus menerima pukulan yang berat tentang penyakitnya. Dia pasti sungguh tersiksa." Keluh Sendy.
"Aku masih belum memberitahu perihal penyakitnya pada Ayu. Ia tidak ingin tahu."
"Benarkah? Tapi, apa itu hal yang terbaik untuknya?" Tanya Sendy.
"Entahlah. Oya, apa sudah ada perkembangan mengenai keberadaan Ayahnya?"
Sendy mulai menjelaskan hasil pemantauannya pada Dhike. Wajahnya menunjukkan kejanggalannya. "Memang sedikit aneh, tetapi hingga kini aku masih belum bisa menyimpulkan secara keseluruhan." Sendy mengambil sebuah arsip mengenai data data perusahaan milik Ayah malang itu. Ia tunjukkan arsip itu pada Dhike. "Ini merupakan data data perkembangan bisnis dari perusahaannya. Seperti yang kamu lihat, bisnis nya saat itu menunjukkan angka yang bagus. Dan Ayahnya tidak mempunyai pinjaman dari pihak manapun. Jadi bisa aku simpulkan, ini tidak ada kaitannya dengan perusahaan." Kata Sendy menjelaskan.
Dhike masih belum puas mendengarnya. "Apa tidak ada lagi yang kamu curigakan?"
Sendy kembali berfikir, matanya mendadak melotot, Ia mengingat akan sesuatu. "Heri ... Apa kamu pernah mengenal nama itu?" Tanyannya pada Dhike.
"Heri? Bukankah dia itu supirnya Ayah Ayu. Memangnya ada apa?"
"Di waktu yang sama, Supirnya pun menghilang."
Seketika Dhike memasangkan wajah yang serius. "Heri merupakan supir yang sudah Ayahnya anggap seperti keluarga sendiri. Ayah ayu tidak pernah percaya pada siapapun kecuali pada Supir pribadi miliknya. Apa mungkin ... Saat ini supir itu bersama dengannya? Apa kamu bisa mencari tahu lebih dalam mengenai supirnya?" Pinta Dhike.
Sendy manggut manggut. "Pasti. Namun sebelum itu, aku ingin menanyakan sesuatu padamu."
"Apa itu?"
Sendy terdiam sejenak, Ia menatap Dhike sungguh sungguh. Sendy sedikit binggung apakah ia harus menanyakannya pada Dhike atau tidak. Namun rasa penasarannya membuat ia harus menanyakannya pada Dhike. "Sebenarnya ... Hubungan spesial apa yang kamu miliki dengan Ayu?" Tanyanya sungguh sungguh.
"Hanya teman sewaktu ku kecil." Sahut Dhike singkat.
"Aku menemui rekan kerja Ayah Ayu tiga hari yang lalu. Dan aku mendapat sebuah teka teki yang masih tanda tanya. Ia berkata, sebelum Ayah Ayu pergi menghilang, ia sempat mengeluh mengenai perihal keluarganya. Dalam keluhannya, ia pun menyebut nyebut namamu."
Dhike tercengang. "Aku?"
"Benar... Kamu." Ucap Sendy memperjelas.
Dhike menggeleng geleng kepalanya, ia sungguh tidak mengerti sebenarnya apa yang sudah terjadi saat itu. "Apa aku ada kaitannya dengan kepergian Ayahnya? Aku sungguh tidak tahu apa apa mengenai itu."
"Kamu tenang saja, aku akan terus mencari kebenaran." Kata Sendy berusaha membuat rasa penasaran Dhike hilang.
Tiba tiba saja ponsel Dhike berbunyi, Ia mendapat panggilan dari Ayu. Dhike segera menggangkat teleponnya.
"Halo? Ayu, ada apa?"
"kakak ... Cepat datang kesini, aku membutuhkanmu saat ini. Aku begitu benar benar terpukul melihatnya. Cepatlah!" Kata Ayu dengan nada yang sedang menangis.
Dhike terheran heran sambil menutup teleponnya.
"Ada apa?" Tanya Sendy.
"Ayu memanggilku. Lain kali, kita akan sering bertemu. Aku minta maaf, aku harus segera menemui Ayu saat ini." Kata Dhike tergesa gesa dan tidak enak hati.
"Oh, tidak apa. Dikeadaan yang sekarang Ayu mungkin akan lebih membutuhkanmu, aku bisa memakluminya. Sampaikan salamku padanya, lain waktu aku akan bertamu ke apartemennya."
Dhike mengangguk dan segera meninggalkan Sendy.
BERSAMBUNG.
Untuk melihat daftar isi Novel JKT48 (Experiance Of Jewel) bisa klik, disini
0 komentar:
Posting Komentar